Mendidik Anak Untuk Mengakui Kesalahan

Dwina.net - Ada sebuah kisah yang sebenarnya sudah kerap terjadi dalam masyarakat kita, dimana ketika anak melakukan kesalahan, yang orang tua lakukan langsung memarahinya tanpa melihat atau mendengar lebih dulu apa dan kenapa kesalahan itu dibuat.

Seorang manusia dalam hidupnya pasti selalu ada salahnya, sebab kita memang tempatnya salah. Namun, bagaimana mendidik anak untuk mengakui kesalahan itu dengan sebenarnya tanpa ada rasa takut. Penulis fikir, kesadaran ini dimulai sejak kecil. 

Pendidikan akhlak seawal balita amatlah penting. Berikut ini ada sebuah kasus yang terjadi pada masa kecil namun jika dibiarkan dampaknya bisa berpengaruh hingga dewasa, terutama untuk prilakunya.

"Sewaktu anak saya masih kecil dan mulai belajar berjalan, ia kerap tanpa sengaja menabrak kursi atau meja. Dan tentu saja, dia langsung menangis. Umumnya, yang saya lakukan ialah refleks mendiamkannya. Supaya tangisan anak segera berhenti, saya memukul kursi atau meja yang tadi tanda sengaja ia tabrak. Sambil mengatakan "Siapa yang nakal ya? Oh, ini ya. Udah, udah mama pukul. Adik diam ya. Oh, mejanya nakal ya."

Begitulah hari demi hari, tindakan yang saya lakukan ini, saya dapati dari orang tua dan orang-orang tua di sekeliling saya. Seingat saya, dulu saya juga begitu. Jika ada benda yang saya tabrak atau menghalangi saya. Maka orang tua akan menyingkirkan benda tersebut sambil menyalahkan benda itu. 

Ternyata apa yang saya lakukan keliru. Ketika proses pemukulan benda yang anak saya tabrak terjadi, sebenarnya saya telah mengajarkan kepada anak bahwa, ia tak pernah bersalah. Yang salah itu, orang atau benda lain. Jika sudah begini, apakah saya bisa mendidik anak untuk mengakui kesalahan dirinya?

Baca Juga : Nama Bayi Perempuan Yang Terinspirasi Dari Bahasa Korea

Pemikiran ini ternyata akan terus terbawa hingga dia dewasa kelak. Akibatnya, setiap ia mengalami suatu peristiwa dan terjadi suatu kekeliruan, maka yang keliru atau salah adalah orang lain, sementara dirinya selalu benar.

Efek lebih lanjutnya, tentu bisa ditebak. Orang lain atau benda lainlah yang harus dihukum bukan dirinya. Di sini, saya merasa menyesal. Saya baru menyadari hal tersebut ketika balita saya yang dulunya lucu itu mulai melawan kepada saya.

Prilaku melawan ini terbangun sejak kecil karena tanpa sadar saya telah mengajarkannya untuk tidak pernah merasa bersalah.

Lalu, apa yang patus saya lakukan? Semestinya, ketika anak baru belajar berjalan dan ia menabrak sesuatu sehingga membuatnya menangis. Sebaiknya ajari ia untuk bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Katakan padanya, "Sayang, kamu nabrak meja ya? Aduh, sakit ya? Ngga papa. Lain kali hati-hati ya. Itu meja dan kursi ada di situ untuk kita duduk. Kamu jalannya pelan-pelan supaya ngga nabrak lagi. Ya, Sayang"

Mungkin, kejadian menabrak benda, terinjak benda atau terjatuh akan terjadi berulang-ulang kali. Maka, mengingatkannya pun harus berulang-ulang kali. Ucapkan poin penting yang sama setiap ia melakukan kekeliruan. Bahwa, ia harus berhati-hati sebelum berjalan.

Ketika dewasa, ia akan belajar untuk tidak menyalahkan orang lain, bertanggung jawab atas semua tindakan yang ia lakukan. Dan, berhati-hati dalam setiap pengambilan keputusan. Tak kiralah, anak kita lelaki atau perempuan, sebab esok ia akan hidup dalam masa yang berbeda dan lingkungan yang berbeda. Boleh jadi ketika itu kita sudah tak ada lagi di dunia ini. Kita tentu berharap cara kita mendidik anak untuk mengakui kesalahan ini akan terus ia praktekan untuk keturunannya kelak.

 Baca Juga : Rekomendasi Nama Bayi Laki-Laki Dari Bahasa Sanksekerta Dan Artinya


Bagaimana ketika ia mulai belajar dan melakukan kesalahan?

Kasus ini sebenarnya saling berhubung kait dengan kasus di atas. Ini lebih kepada pengelolaan emosi kita sebagai orang tua. Anak yang mulai belajar tentu kerap mengalami kesalahan. Misalnya, belajar berjalan, memegang benda, membawakan sesuatu, meletakkan barang, terlambat pulang dan lain sebagainya.

Kekeliruan yang ia lakukan tak pelak memancing emosi orang tua. Apalagi jika orang tua tengah ada masalah baik di kantor maupun dengan pasangan. Banyak kasus terjadi anak yang menjadi sasaran empuk kemarahan. Kita seolah-olah tak bisa menerima kekeliruan tersebut dan langsung meledak.

Prilaku kita yang begini memicu anak untuk menutupi kekeliruannya dengan berbagai cara. Dengan berbohong misalnya. Atau menyalahkan orang lain. Kejujuran amat sulit ia ungkapkan sebab ia sudah faham sekali. Bila berkata jujur, nanti orang tua akan marah. Lebih baik berbohong.

Apa yang sebaiknya kita lakukan jika anak melakukan kekeliruan ini? Sebaiknya, kita selidiki dulu apa sebab kekeliruan itu terjadi. Jika merasa emosi akan menggelegak. Beralihlah dulu ke tempat lain. Tarik nafas dan sadari anak kita adalah titipan Tuhan, dan tingkah lakunya boleh jadi adalah cerminan diri kita.

Tanyakan apa sebabnya dengan tidak menampakkan muka marah. Tersenyum dan minta anak untuk berkata jujur. Jika kekeliruan itu dia lakukan dengan tidak sengaja. Maafkan, dan katakan sebaiknya dia melakukan apa.

Misal, anak tidak sengaja memecahkan gelas. Katakan padanya "Lain kali, hati-hati ya, Nak. Gelas ini dari kaca. Kalau pecah nanti bisa melukai kaki."Tunjukkan padanya cara membersihkan pecahan kaca tersebut. Dengan harapan dia akan faham bahwa gelas kaca itu kalau pecah bisa bahaya. Jadi, bawalah dengan hati-hati. 

Akhir sekali, senantiasalah meminta pertolongan Allah untuk menempatkan kewarasan dalam diri agar terus dapat mendidik anak sesuai dengan prilaku dan akhlak yang baik. Agar kelak, ketika ia tumbuh dewasa, ia menjadi anak yang baik. Mohonkan pada Sang Maha Pemilik Hati untuk terus meneguhkan hati dan imannya pada kebaikan.

 

Back To Top