Temukan Jawaban Kenapa Menjadi Ibu yang Pemarah?


Tulisan kali ini bukanlah murni dari saya, tetapi dari seorang pakar parenting yang walaupun tidak pernah saya temui langsung namun saya mengaguminya. Beliau adalah Pak Dono Baswardono. Saya sudah lama mengikuti FPnya dan selalu tersenyum, sedih, kadang merasa bodoh jika baru saja membaca tulisan-tulisan beliau yang sebagian besar tentang bagaimana menjadi orang tua yang baik.

Sebagai ibu muda tentu banyak hal yang harus saya pelajari. Terutama bagaimana cara mengolah emosi yang kadang meluap dan seringkali anaklah yang menjadi pelampiasannya. Sering saya menangis malam hari jika melihat wajah anak saya yang lucu dan lucu. Dan saya bertanya, apa sebenarnya masalah saya? kenapa harus dia yang secara disengaja atau tidak menjadi tempat pelampiasan marah saya.

Saya tau, saya butuh bantuan. Dan bantuan itu harus saya cari sendiri. Seperti kata orang, tertawalah karena seisi dunia akan tertawa bersamamu. Menangislah sendiri karena engkau akan menangis sendirian. Tentu saya tidak ingin menjadi orang yang selalu menangis sendirian. Saya berhak hidup bahagia. Itulah yang menjadi salah satu sebab kenapa saya sering mengikuti FP Pak Dono. Alhamdulillah semakin kesini saya semakin bisa mengontrol emosi dan berdamai dengan kenyataan.

Di bawah ini adalah tulisan yang terpanjang yang pernah saya baca dari FP beliau, semoga bermanfaat.
 
Mengapa Aku Menjadi Pemarah?
Seorang ibu suatu hari berjumpa dengan sahabatnya yang telah lama tidak ia temui sejak ia menikah. Ia membuka percakapan dengan menangis. Setelah tenang, ia mulai bercerita. “Kamu tentu tahu aku dulu seperti apa. Aku bukan orang yang mudah marah. Aku juga bukan perempuan yang menyukai bayi, tetapi sekarang anakku sudah empat. Tapi itulah yang harus kuhadapi".

Setelah melihat respon sahabatnya yang tetap fokus mendengarkan, ia melanjutkan. “Sejak menjadi ibu, aku harus menghadapi emosiku. Ternyata aku mudah sekali marah. Setelah memarahi anak-anak, seringkali aku menyalahkan diriku sendiri. Tetapi kalau seperti itu terus, aku hanya akan berputar-putar tidak bergerak ke mana-mana. Tolonglah aku. Aku tidak ingin anak-anakku menjadi kasar dan tajam. Jelas, memiliki ibu yang tajam dan keras sama dengan memberi anak-anakku masalah besar. Lagi pula, bagiku sendiri, sangat tidak menyenangkan dan berat untuk terus menerus dalam suasana hati yang buruk seperti ini.” 

Sahabatnya memeluknya. Mereka menangis bersama. Dan minum kopi bersama. Lalu mengobrollah mereka dari hati ke hati selama beberapa jam. Saya akan meringkaskan pembicaraan mereka dalam bentuk artikel di bawah ini. 

Intinya, ada lima (5) alasan umum yang biasanya membuat seorang ibu atau ayah marah kepada anak-anaknya.

Pertama, Anda membawa semua persoalan menjadi masalah pribadi.

Tidak sedikit orangtua yang merasa bahwa ketidakpatuhan anaknya itu seperti pemberontakan pribadi, bagaikan penghinaan terhadap dirinya. Anda meminta anak-anak melakukan ini, tetapi mereka malah melakukan itu. Anda pun merasa diserang. 

Dalam situasi seperti itu, selalulah ingat bahwa mereka adalah anak-anak. Semua anak-anak di dunia itu secara intuitif ingin menyenangkan orangtuanya, tetapi mereka tidak tahu bagaimana caranya. Garis bawahi kalimat terakhir ini. Kalau perlu, jadikan poster untuk mengingatkan diri Anda. Kecuali kalau Anda memang ingin jadi gila entah siang maupun malam, janganlah membawa segala persoalan, remeh maupun prinsip, menjadi masalah pribadi.

Apabila kemarahan Anda naik setelah kejadian atau situasi tertentu, sebelum Anda menancapkan reaksi, ambil waktu barang satu-dua menit untuk memikirkan akar kemarahan Anda. Apakah Anda marah memang karena mereka tidak melakukan apa yang Anda suruh? Ya, saya paham, mereka memang perlu mematuhi perintah Anda, tetapi bukankah kemarahan Anda tidak akan menghasilkan kedisplinan positif yang Anda inginkan? Disiplin yang berakar dari kesadaran sendiri. Kemarahan Anda hanya akan menimbulkan kepatuhan karena takut — yang tentu saja akan tidak patuh lagi jika rasa takut sudah menghilang. 

Tenangkan diri Anda, dan ingatlah, persis yang saya tulis dalam buku saya, “10 Warisan Orangtua,” bahwa konsistensi, disiplin dan latihan terus menerus lah yang akan melahirkan disiplin dari dalam, persis seperti yang Anda inginkan. Anda tentu tidak berharap anak Anda menjadi pribadi yang serba ketakutan dan sekaligus juga mudah marah. 

Kedua, harapan Anda perlu disesuaikan.

Tidak ada orang yang tahu persis seperti apa standar sebagai ibu atau ayah yang baik itu. Kita tidak tahu apa yang diharapkan. Standar ini perlu terus menerus disesuaikan dari waktu ke waktu; dari satu pengalaman ke pengalaman lainnya. Yang jelas, standar yang terlalu tinggi akan membuat Anda frustrasi sendiri. Kalau Anda berharap anak berumur 3 tahun sudah bertingkah seperti anak berumur 6 tahun, maka wajar jika Anda gampang marah.

Beberapa saat lalu, ada keluarga besar datang ke kantor saya, walau yang mau berkonsultasi hanya satu anak. Tantenya sedang menyusui bayinya. Di tengah-tengah menyusu itu, bayi itu berhenti karena tampaknya ingin gumoh. Tanpa ba-bi-bu, ibunya berteriak, “Bayi ini benar-benar nggak bisa melakukan apa-apa. Semuanya salah!” Saya dengan sadar memandanginya. Melihat saya menatapnya tajam, ibu itu tersadar dan kemudian tertawa sambil memeluk erat bayinya. Keluarganya ikut tertawa dan sang Oma berkomentar, “Kamu itu, namanya juga bayi. kalau sudah bisa semua itu berarti sudah dewasa.” 

Jadi, silakan berharap anak Anda patuh. Tetapi kalau Anda berharap kepatuhan 100%, maka silakan pergi ke markas tentara Korea Utara.

Wajar saja orangtua berharap anaknya memiliki sikap yang baik, tetapi kalau Anda berharap setiap detik anak-anak bersikap baik, maka berdoalah kepada Tuhan untuk mengubah anak Anda menjadi malaikat.
Jadi, buatlah daftar harapan Anda…lalu sesuaikan.

Ketiga, energi mental Anda nyaris habis; Anda perlu diisi ulang. 

Menjadi orangtua itu memang perlu banyak pengorbanan; tetapi itu bukan berarti Anda mesti mengorbankan kewarasan Anda. Sebaliknya, orangtua itu mesti terus menerus menjaga kewarasannya. Ada hal-hal tertentu yang mesti kita lakukan agar tetap terus waras; agar terjadi keseimbangan antara tubuh, pikiran dan jiwa. Anda mesti merawat diri sendiri. 

Ini salah satu saran saya yang paling sering dibantah oleh para orangtua yang “terlalu” berkomitmen. Ada saja alasan mereka; seperti anak-anak masih kecil, tidak punya pembantu, tinggal bersama mertua, tidak tega meninggalkan anak-anak, dsb. 

Ya, saya memahami keinginan Anda untuk terus memberi dan hanya memberi seperti lagu “Kasih Ibu.” Tetapi kalau Anda sendiri sudah merasa kosong, hati Anda merasa hampa, dan Anda terus ingin memberi, lalu apa sebenarnya yang Anda berikan? Bukankah Anda juga hanya bisa memberi kekosongan? Apakah itu masih layak disbeut sebagai pemberian? Bukankah lebih baik Anda memberikan yang terbaik dari dalam diri Anda? Mengapa Anda memilih untuk memberi dan memberi kemarahan kepada anak-anak? 

Sisihkan waktu untuk merawat diri Anda sendiri. Entah itu dengan membaca novel, atau pergi ke salon dan spa, atau makan malam romantis berdua dengan pasangan, atau berhaha-hihi dengan para sahabat lama Anda. Mintalah suami atau anggota keluarga Anda lainnya untuk menjaga anak-anak. Atau minta anak-anak tidur lebih awal, dan lakukan sesuatu yang menyenangkan hati Anda. Lakukan hobi Anda; jika tak punya hobi, mulailah punya hobi. Bahkan kalau perlu dan Anda mampu mengatur jadwalnya, pergilah berlibur sendirian selama 2-3 hari. 

Yang penting, isilah kembali hati Anda dengan hal-hal yang menenangkan, mendamaikan, rileks dan nyaman.

Keempat, Anda membiarkan segalanya diluar kontrol; Anda perlu mengatur ulang semuanya. 

Ini kenyataan yang pahit. Tidak enak membacanya. Saya juga tidak enak menulisnya. Tetapi kebanyakan perilaku anak-anak adalah akibat pilihan-pilihan parenting kita sendiri; akibat gaya parenting yang kita pilih. Tentu saja, tidak semuanya, karena anak-anak juga dibekali kehendak bebas.

Akan tetapi, kalau kita terlalu kaku, atau terlalu membiarkan, atau tidak konsisten, maka kehendak bebas anak-anak itu akan membuat mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak kita inginkan. Sangat wajar kita merasa sudah memiliki sistem yang baik, yang nyaman buat diri kita, lalu setelah beberapa waktu seakan-akan sistem itu bisa berjalan sendiri. 

Persis seperti Indonesia di masa pemerintahan yang lalu, bisa berjalan sendiri walau para pemimpin pusat tidak memimpin; Indonesia berjalan sendiri bagai pesawat dalam mode autopilot. Namun, selang beberapa tahun, baru kita menyadari bahwa sistem itu perlu disetel ulang. Mobil saja perlu diservis rutin; ban perlu diseimbangkan kembali. Begitu pula dengan sistem keorangtuaan Anda. Kalau rumah tangga Anda, keluarga Anda terasa kacau, tampak sudah sulit dikendalikan, maka itu pertanda memang ada yang perlu diatur ulang. Perlu dibawa ke bengkel.

Caranya? Silakan pergi konsultasi. Atau jika tak ada sumberdayanya, beristirahatlah sekitar seminggu: itulah periode untuk berintrospeksi dan membuat aturan-aturan baru. 

Lakukan evaluasi harapan-harapan Anda (silakan baca kembali butir nomor dua di atas); lakukan bersama-sama dengan pasangan Anda. 

Setelah itu, jelaskan segala harapan atau aturan Anda itu kepada anak-anak. Jelaskan berulang-ulang apa yang Anda harapkan dari mereka; termasuk apa yang bakal terjadi jika mereka tidak melakukan apa yang Anda harapkan alias apa konsekuensinya. 

Sepakati dengan pasangan, bahwa setelah minggu ini terlewati, Anda berdua mesti menjadi satu kubu. Dan, Anda berdua mesti kembali menjadi kapten kapal; mengambil alih kembali kepemimpinan di rumah. Jangan biarkan anak-anak mengkudeta kepemimpinan Anda berdua melalui tindakan-tindakan mereka yang melanggar aturan atau harapan Anda berdua.

Bersikaplah realistik setelah minggu pengaturan ulang itu. Jangan berharap segalanya langsung atau otomatis menjadi lebih baik. Seringkali, sebelum semuanya menjadi lebih baik, tak jarang Anda mengalami hari-hari yang tampak lebih buruk daripada sebelumnya.

Kelima, Anda tengah stres dan butuh pelepasan. 

Kalau saya pribadi sedang stres dan tidak berhasil memprosesnya, saya menjadi orang bersumbu pendek. Hal-hal kecil saja bisa membuat saya meledak. Maka, saya butuh pelepasan. 

Tiap orang butuh jenis pelepasan sesuai dengan kebutuhannya, sesuai dengan jenis stresnya, sesuai dengan temperamennya. Ada yang pelepasannya berupa mengerjakan hobi, atau berolahraga, atau khusus untuk saya sendiri: menulis dan membaca. Yang jelas, jangan melepas stres dengan cara memeuntahkan kemarahan kepada anak-anak. Itu adalah cara pelepasan yang terjamin menimbulkan stres baru, bahkan melahirkan persoalan besar dalam jangka pendek maupun jangka sangat panjang. 

Kalau Anda sering stres atau secara berkala stres, maka Anda memang perlu pendekatan yang lebih mendasar: konseling atau mengikuti program manajemen kemarahan. Juga, Anda perlu memberi batasan-batasan yang sangat tegas dalam aspek hubungan, pekerjaan, atau bidang-bidang kehidupan lain yang tampak sudah sulit dikendalikan. 

Anda mungkin tidak mampu mengendalikan kejadian-kejadian yang membuat Anda stres, tetapi anak-anak Anda tidak seharusnya menderita hanya gara-gara ketidakmampuan Anda mengontrol itu. Boleh jadi, Anda perlu memotong sebagian komitmen, mengurangi sebagian kewajiban dan tugas, dan menimbang ulang urutan prioritas hidup Anda. 

Mungkin, Anda juga harus melakukan sesuatu yang revolusioner, yang drastis. Tetapi kelak Anda akan bangga atau bahagia karena Anda bersedia dan sanggup melakukannya. Cobalah satu hari dulu. Lihatlah keberhasilan Anda tidak marah hari itu karena Anda mengubah cara hidup Anda secara drastis tadi. Lihatlah bagaimana hari itu Anda menjadi tetap waras, tetap utuh, tetap mampu mengontrol diri.

Jadi, wajar saja jika Anda, entah sebagai ibu atau ayah, untuk marah. Marah itu wajar. Tetapi wajar pula jika Anda mampu mengontrolnya. Marah itu wajar, tetapi menjadi tidak wajar jika Anda gagal mengontrolnya. Berarti, diri Anda dan kehidupan Anda malah dikontrol, diambil alih, oleh si marah itu. 

Wajar pula, anak-anak mesti memahami bahwa setiap tindakan itu menimbulkan konsekuensi. Tetapi, kita sendiri juga mesti memahami bahwa banyak konsekuensi besar yang mesti kita tanggung dengan menjadi orangtua itu. Salah satu konsekuensi sebagai orangtua adalah “mampu mengendalikan kemarahan kita.” Kita mesti menyadari bahwa perasaan kita adalah tanggung jawab kita sendiri. Ya, perbuatan anak-anak bisa memicu perasaan kita; tetapi kita sendiri yang dapat memutuskan bagaimana cara mengekspresikan perasaan kita itu.

Jangan sekadar mencoba untuk tidak berteriak atau menyumpah, seperti tantangan yang pernah saya ajukan di group ini. Anda akan gagal jika tidak mengatasi sumber kemarahan itu. Ya, “Kemarahan itu sendiri bukanlah persoalan. Ada persoalan yang lebih mengakar yang menimbulkan kemarahan itu.” Akar persoalan itulah yang mesti Anda atasi. DB
Back To Top