Cerpen - Jelaga Rasa

Dwina.net - Semoga manusia lebih menyadari untuk apa dia diciptakan.



Siang itu aku menaiki bis yang akan menuju perumahan Sembilang tempatku tinggal sementara. Bis tidak begitu penuh tapi juga tidak lengang. Aku memilih tempat duduk dekat jendela, favorite siapapun. Sembari menunggu bis penuh pandangan ku layangkan pada hiruk pikuk terminal. Lalu lalang orang dari berbagai negara menjadikan rupa mereka beraneka. Tuhan begitu kaya dan detail dalam penciptaan makhluknya.

Seseorang kemudian menaiki bis dan refleks aku menoleh kearahnya. Pandangan kami bertemu sekilas. Satu mahkluk lain yang Tuhan ciptakan dengan sempurna dan cukup baik. Tak disangka dia memilih duduk disebelahku. Sekilas mataku menyapu bis, apa tidak ada tempat duduk lain? pikirku. Tapi mahkluk yang kemudian aku panggil Mas ini dengan cueknya memilih duduk disebelahku.

Selang beberapa saat bis pun melaju meninggalkan terminal. Aku terdiam. Melamun lebih tepatnya.
Setengah perjalanan mahkluk disampingku memulai percakapan. Hal yang sering sekali dilakukan oleh seseorang bila berada dalam satu ruangan dengan lawan jenisnya. But, honestly aku senang.

"Mau kemana?" Itu pertanyaan pertamanya.
Aku menoleh tanpa menjawab. Melempar senyum "Pulang" Kataku.
"Tinggal dimana?"
"Sembilang"
"Udah lama disini?"
"Belum, baru sekitar 10 menitan"
Hahahahaha sontak dia tertawa karena gurauanku yang mungkin ngga dia sangka sama sekali.
"Bukan, maksudku, udah berapa lama tinggal di Malaysia?" 
"Hmm mau jalan 2 tahun"

Begitulah awal percakapan kami yang ternyata lanjut ke hari-hari berikutnya. Dia gigih itu penilaianku yang pertama. Sebab dia memaksa untuk menemaninya makan malam di dekat asrama tempat tinggalku. Aku yang kala itu tak menolak mungkin karena terbius oleh cara becadanya atau obrolan absurd selama lebih kurang 25 menit dalam bis.
As a simple. Tapi siapa sangka awal pertemuan itu kemudian meninggalkan rentetan kenangan yang hingga kini masih terasa manis.

Hari berlalu musim kemarau berada di ujung hari. Panas yang tadinya bedentang kini mulai terbujuk angin yang bertiup kuat. Awan pun mulai menunjukkan gejala akan menumpahkan air seperti aku yang ingin menumpahkan perasaanku padanya. Tapi apakah pantas? Jeritku meragu.

Sejak awal perjumpaan itu kami memang intens berkomunikasi dan kadang membuat janji temu disela kesibukan kami sebagai kuli di negeri orang. Tak jarang dia mengganggu tidur malamku dengan deringan telponya. Dan lagi-lagi harus ku akui aku senang dengan dering telepon malam-malam itu.

Kebiasaan bak hujan. Tenang tapi menaklukan. Dari seringnya bertemu menimbulkan perasaan yang wajar antara lelaki dan perempuan. Namun tidak satupun diantara kami yang memulai untuk meluahkan perasaan pribadi. 

Biasa, terlalu biasa. Kami bertemu, bergurau, nonton bareng, jalan bareng, menerobos hujan malam hari juga bareng. Tapi kami tak pernah bareng menyatakan perasaan. Topik hati sepertinya bukan sesuatu yang harus dibahas padahal aku yakin dia memiliki rasa yang sama.

Berbekal dorongan dari kawan dan nekat yang brutal aku maju lebih dulu. Aku tak bilang kalau suka dia. Tapi aku bertanya, apakah hubungan kami hanya setakat ini saja atau lebih. Jawaban yang kudengar malam itu cukup menghempaskanku dalam kesadaraan bahwa selama ini aku nothing di hadapannya.

Dia bilang dengan jujur, bahwa dia tidak ingin terikat hubungan lebih dari sekedar teman. Dia tidak ingin pacaran di negeri orang. Itu terlalu beresiko. Katanya.

Lama aku terdiam, mengumpulkan rasa percaya diri yang terserak dicucuri gerimis bersatu dengan debu dan asap kendaraan yang melintas.

Inilah akhir dari pertemanan salah kaprah yang kami jalani selama ini. Karena setelah itu kami seolah tidak lagi saling mengenal. Aku menghindar setiap berpapasan dengannya. Pun dia berusaha untuk tidak mengangguku lagi dengan menjaga jarak.

Sedih pastinya karena kenangan tentang kami berkelebat tanpa bisa kubendung kapan datangnya. Kenangan itu melintas lintas. Dasar tidak tahu sopan santun. Gerutuku menyalahkan rasa.

Lambat laun aku mulai bisa berdamai dengan perasaan ini. Tak perlu menyalahkan sesiapa, rasa ini datang tanpa dipinta. Dan jawabannya kala itu cukup masuk akal atau bahkan justru sangat tepat. 

Siapa yang bisa menjamin kami baik-baik saja jika menukar pertemanan ini menjadi pacaran. Kami jauh di negeri orang. Kami bebas melakukan apapun, dia bisa menjemputku kapanpun tanpa harus meminta ijin orang tuaku selayaknya pasangan yang minta ijin ngedate dengan pasangan.

Semakin lama aku memikirkan asbab dari jawabannya semakin aku menyukainya. Ia ingin menjagaku bukan hanya dari orang lain tapi juga dari dirinya sendiri. Tidak ada yang bisa menjamin kami tidak akan melakukan kontak fisik ketika pertemanan ini diubah jadi pacaran. Ah, kau benar-benar menaklukanku kini.

Aku tak lagi menunggu telepon darinya, tak lagi mengharap pertemuan berencana seperti kemarin. Tapi malam itu harapan yang tadinya sudah kupupuskan tumbuh dengan cepat. Bertunas dan kembali meranggas.

Pulang dari rumah abang sepupu aku keletihan dan tertidur di dalam bis yang melaju jauh melewati halte tempatku seharusnya berhenti. Entah sampai dimana yang jelas aku terkejut saat supir bis membangunkanku dengan kasar.

"Heh bangun, bangun!"
Aku tak menjawab sangkin kagetnya. Setelah nyawa terkumpul sempurna baru aku bertanya.
Kaget bukan kepalang karena aku tak kenal daerah itu sama sekali. Supir bis hanya menyuruhku keluar dan mencari taksi di halte bis.

Halte yang dijuntukkan rupanya tidak dekat. Aku melirik jam, Astaghfirullah sudah hampir jam 10 malam. Bis pasti tidak ada lagi. Dan lebih menakutkannya lagi aku tidak tahu dimana posisiku sekarang. Dengan keberanian yang tersisa aku berjalan menyusuri jalanan sepi hingga akhirnya nampak halte.

Bersyukur tapi belum full, karena halte sepi sekali. Sebenarnya bukan halte yang sepi. Sepanjang jalan itu sepi tidak ada satupun kendaraan lewat. Kiri kanan jalan hanya ada pepohonan besar dan semak. Dalam hati aku merapal do'a mohon keselamatan.

Beberapa teman ku telepon tapi tidak ada jawaban memuaskan. Kebanyakan dari mereka sedang berada di luar atau kerja shift malam. Dalam ketakutan aku mencoba menelepon dia yang sudah hampir 4 bulan ini tak pernah lagi saling komunikasi. Ajaib dia mengangkat teleponku.

"Mas.. aku tersesat" Kataku parau, hampir menangis.
"Dimana? Kamu sapa siapa?" Tanyanya. Terdegar dia pun kaget. Kenapa hari begini masih ada orang tersesat.
Singkat kuceritakan persoalannya berikut kekhawatiranku sebab sama sekali ngga tau dimana aku sekarang.
"Cari orang dekat situ, tanya kamu dijalan apa, aku jemput sekarang" Perintahnya cepat.
Setelah menutup telepon aku celingukan mencari orang, apa masih ada orang dijalanan sepi begini.

Diseberang halte ternyata ada sekumpulan anak muda sedang kongkow. Dengan takut-takut aku mendatangi mereka. Do'a-do'a semakin kencang aku rapal dalam hati. Semakin dekat dengan sekumpulan anak muda itu langkahku terhenti. Perasaanku mengatakan jangan mendekati mereka. Akhirnya aku urung dan balik arah.

Setengah berlari aku menuju halte bis sepi dan duduk seorang diri. Telepon kembali berdering, aku segera mengangkatnya.

"Kamu udah dimana?" Tanyanya tanpa ba bi bu.
"Di halte, tapi ngga ada orang disini" Aku juga menjelaskan tadi ada sekumpulan anak muda. Pingin nanya tapi aku ragu jadi aku memilih terus ke halte aja.
"Bagus, itu lebih baik, jangan bertanya kalau orang itu kelihatan ngga baik" Sarannya.
"Iya, aku faham" Kataku pelan.
"Kamu nangis?" Tanyanya juga dengan suara pelan.
"Ngga, aku cuma takut" Jelasku berusaha menahan air yang mulai menggenang di pelupuk mata.
"Jangan takut, aku temani dari sini" Katanya berusaha menenangkan.

Selama lebih setengah jam kami ngobrol by phone. Aku tersenyum saat dia berusaha bercanda dan tertegun saat dia minta maaf karena tidak bisa menjadikanku kekasihnya.

"Ngga papa, aku faham kok" Kataku dengan dada yang tiba-tiba saja sesak.
"Tapi kita jadi aneh setelah kejadian itu, kalau malam ini kamu ngga kena musibah tentu kita ngga akan pernah lagi ngobrol panjang begini" Katanya hati-hati.

"Aku ngga mau merusak kamu, aku ngga janji aku bisa jagain kamu kalau kamu jadi pacarku. Bisa jadi malah bukannya menjaga tapi aku justru akan merusak kamu" Katanya mencoba menjelaskan.
"Apa kita tidak bisa jadi pasangan kekasih tanpa harus ada kontak fisik?" Kataku dalam hati dan tentu saja dia ngga dengar.

Dari jauh aku lihat ada taksi mendekat. Segera aku beri tahu dia supaya memutuskan telepon karena aku harus menyetop taksi yang mungkin terakhir malam ini. 

Awalnya sang supir ngga mau nerima aku karena dia sudah jalan menuju pulang ke rumah. Aku memohon supaya di antar sampai rumah karena sejak tadi ngga ada satupun kendaraan lewat. Karena kasihan akhirnya aku diangkut pulang dan selamat sampai di rumah.

Sampai di rumah aku buru-buru naik ke kamarku di lantai dua dengan perasaan lega meski rasanya letih sekali. Sesampainya di kamar dan buka jilbab, teleponku berdering. Ku lihat namanya tertera dilayar HP. 

"Aku sudah di rumah, Mas" Kataku lega. 
"Alhamdulillah, coba turun sekarang" Perintahnya.
"Kenapa?"
"Turun aja, Aku di bawah"
Aku kaget dan langsung turun dengan tergesa. Sampai di ruang tamu aku ragu, kulihat jam sudah hampir pukul 12 malam. Ngga mungkin dia datang.

"Kamu udah di bawah?"
"Udah"
"Ngga usah keluar rumah, lihat aja dari kaca jendela"
Aku berjalan menuju tirai jendela besar yang mengarah ke luar rumah, menyibak sedikit dan kulihat dia sedang berdiri di seberang jalan depan rumahku dengan masih memegang telepon yang tersambung denganku.

Dia tersenyum dan melambaikan tangan.
"Aku keluar ya" Pintaku.
"Jangan, udah malam. Kamu pulang dengan selamat aja aku udah senang. Sekarang istirahat ya. Selamat tidur" Katanya sembari tersenyum ke arahku.

Aku ngga tau harus bilang apa sampai dia menutup telepon. Perlahan aku naik ke kamarku dan merebahkan diri di kasur. Aku bingung kenapa harus menangis lagi malam itu.




Back To Top