Air Mata Penyesalan

Tulisan kali ini asli bukan hasil karya jari-jariku, tapi dari seorang temen yang katanya pengen banget tulisannya di pajangin di blog aku. Aku fikir gak ada salahnya menyenangkan hati teman. Dunia udah semakin tua, amal baik aku belum banyak jadi sekecil apapun aku coba berbuat baik hehehhehe. Tapi masalahnya tulisannya panjang banget dan sejujurnya aku gak ngerti temenku ini nulis apa.

"Bahasanya berat bu, gak mudheng aku" Sambil garuk-garuk kepala.

"Halaaahhh udah posting aja... udah capek-capek nulis nih"

"Okelah kalo begitu, jangan salahin kalau temen-temen blog ku juga gak mudheng ya"

So, buat temen-temen, kebebasan untuk tidak membaca habis postingan dan bebas berkomentar berlaku disini. Kalau memang tulisannya kepanjangan dan gak ngerti, langsung aja ke kotak komentar, Oke.*maksa*


Tujuh hari lamanya sudah, aku melihat air matamu terjatuh di antara rumput yang mengering, kayu yang rapuh, ladang yang gersang. Baru hari ini aku tak melihatnya basah. Padahal aku rindu air matamu, walau kau bumbui dengan senyum, air matamu masih terasa hangat. Sehangat semangat cintaku, sehangat aku menciumu dalam malam malam yang terus mempertanyakanku…siapa dia, kau sayang dia…??apakah sedemikian juga dia sayang aku. Semangat malam yang seperti pagi. Aku larut didalamnya.

Lewat air matamu, kau perkenalkan aku dengan sunyi, kau papah aku di jalan yang tak bertepi. Kemudian kau bawa aku terbang, terbang melintasi tembok-tembok yang memisahkan antara aku dan kamu, bulan dan bintang, langit dan bumi. Ya, aku rindu itu.

Hingga sampai saat ini, Di sini, di sampingmu, aku akan terus menunggu air matamu hingga terjatuh, membasahi rambutku, rambut kita yang mulai memutih.

Percayalah, aku akan menemanimu selamanya, selagi engkau setia pada sunyi, pada sesuatu yang membuat manusia meninggalkanmu. Keluarkanlah, keluarkanlah air matamu sayang. Aku ingin mengunyah dan menelannya walau pahit terasa, aku suka.

Percayalah, aku suka pahit. Aku suka pada sesuatu yang membuat manusia takut, hingga manusia meninggalkanku. Selamanya, aku bersamamu. Karena aku adalah kamu. Yakinlah itu.

Kenapa kau tengadahkan wajahmu yang pucat ke langit? Apa yang membuatmu mematung seperti itu? Tanpa suara.

“Kau ingin menangis kan!? Berikanlah satu tetes saja padaku. Aku takkan menghalangi langkahmu lagi. Langkahkanlah kakimu menuju hamparan batu yang tak jauh di hadapanmu, tempat biasa kau rebahkan tubuhmu di saat-saat beribu tanya tak ada jawab di hatimu. Dan biarkan angin kering itu membelai bening kulit tubuhmu.

Dan lihatlah senja yang disepu merah tembaga, ia semakin tua, memanggil-manggil namamu, nama kita. Sedang jauh di sana, di antara tebing-tebing yang menjulang, barisan burung-burung menyusuri aliran sungai yang mengering, terbang menuju sarang. Sementara aku dan kamu, masih bercengkrama dalam kebisuan. Kebisuan yang entah sampai kapan kau akhiri.

Biarkanlah aku disini, menyusuri lorong kebisuan, tanpa air mata, tanpa apa yang kau mau. Aku tak ingin kau hanyut oleh air mataku, terhempas di lembah kesunyian. Aku ingin kau berdiri tegap di anatara riuh-rendahnya suara, di anatara hempasan badai.

Jangan bujuk hati ini, aku tak yakin kau sanggup tenggelam di danau air mataku. Dan aku tak yakin bahwa di bola matamu ada sunyi yang menghentak. Kembalilah pada dirimu sendiri. Kembalilah…

Biarkanlah aku menyambut kematianku ini tanpa tangisan. Dan aku tidak berharap kematianku dikenang siapa pun. Aku ini manusia biasa, yang lahir dan matinya biasa-bisa saja.

Sepertinya masih jauh tanda-tanda jatuhnya setetes air di kelopak matamu. Tapi aku merasakan bahwa air mata itu ada, tersimpan di bagian tubuhmu yang tak dapat kusentuh. Bahkan air mata itu kau titipkan pada batu tempat kau merebah, dan pada dedaunan sebagai pelindung tubuhmu. Aku cemburu, aku sakit hati pada batu, pada daun-daun yang melekat di tubuhmu. Tahukah engkau, hati ini telah terbangun sejak engkau tak menitikkan air mata. Betapa engkau telah membangunkan aku dikebekuan, ketaksadaran, dan kealpaan.

Denganmu yang seperti saat ini, kau beri aku arti betapa berharganya air mata itu. Dan di sini aku ingin kembali menjadi dirimu, menjadi diriku. Kita akan buka lembar-lembar tampa riuh gelombang dan debur ombak. Kita akan menenggelamkan diri kedasar yang tak bertepi, mereguk sunyi. Dan biarkanlah kepingan masa lalu menuturkan sesal yang takkan berulang.

Aku akui, ini salahku. Semestinya dunia ini kutabur wewangian dari sari bunga yang kau tanam dulu.

“Nasi terlanjur menjadi bubur. Dan kita tak takkan bisa terus menerus hidup dalam penyesalan. Tak ada gunanya larut dalam kesedihan. Hidup ini nyata, seperti saat ini, saat-saat matamu tak lagi berembun.”

Sudahlah, kau dan aku tetaplah seperti dulu. Jalanilah jalanmu. Dan aku akan berjalan jalanku. Mungkin dengan kesendirian, kita akan lebih bebas menentukan diri sendiri, lebih bebas sampai ke dasar mana kita akan tenggelam. Dan jangan ada kata terlanjur. Selagi ada niat dan kesungguhan. Sebab itulah jalan kita.

Selamanya aku takkan pernah hadir di antara sepimu yang sementara. Kecuali engkau telah memahami apa arti sesal. Sepekat malam ini, dirimu berjalan tanpa cahaya. Bisakah kau mencari sesuatu di gulita belantara yang kau cipta? Dan aku tak mungkin menjadi cahaya bagimu. Ini bukan dendam yang kusimpan, melainkan agar kau memahami apa arti cahaya yang dulu selalu kau campakkan.
Rata Penuh
Sebab itu, tak ada alasan untuk merintih dan menangis di hadapanku. Lebih baik kau pahamilah arti sesal itu, hingga kau bisa meraihku, mencapai puncak sejati yang tak kau dapatkan di tubuhku. Selamat tinggal, Sayang, selami aku di puncak sesalan.
Tag : curahan hati
Back To Top